Aku hanya duduk terpaku melihat butiran air mata seperti
hendak membumi malam kemarin. Suaranya hampir senyap,terawangan pandangannya
kian dalam nan jauh. Mungkin sedang pedih hatinya menerawang kenangan pahit
saat clurit clurit berserakan dijalan,hasil dari peperangan.
Batu batu tak lagi beraturan,ada yang seukuran kelapa,seukuran gula jawa,bahkan seukuran setengah roda sepeda. Bukan lagi dikali kali atau pantai tepi rumah,tapi sudah menjelma menjadi kejam membongkar jendela jendela,yang bahkan sudah ditutup horden guna menipu mata pemberontak untuk berpesan telah kabur menghilang. Ya,sebagian penutup horden tak sempat lari kehutan yang jaraknya ribuan mill dari pantai. Belum sempat mengepak semua pakaian dan bekal makanan,hanya ada beberapa ribu uang dikantong celana berlubang dan berbau debu darah mengering.
Sebuah malam kelam melenyapkan hunian berderet sederhana,pemberontak menentang alam. Berusaha menciptakan siang dengan mengorbankan atap atap rumah pantai dan menumbalkan penghuni yang tak sempat lari dan terjerembab dikepungan kaki kaki bersandal jepit dengan parang dan pedang ditangannya. Yang tiba tiba dengan teganya menghempas leher tak tau apa muasal dasar peperangan diranah tanahnya.
Pemuda berlari lari sambil menjnjing surat tanah menuju pegunungan terdekat. Mencoba melarika diri dari ratusan orang bermata api. Entah apa yang ada dalam fikiran pemuda,ia hanya sedang berusaha menyelamatkan nasi untuk makan keluarga kedepannya. Walau tidak satupun yang tahu semua saudara saudaranya berpencar masih menahan nyawa atau telah direnggut kematian. Berpencar seperti tak juga menyelamatkan. Deretan rumah pantai sudah dikabarkan hangus,tercium asap sagu sisa didapur,bahkan bercampur asap abu mayat yang terjebak dirumah yang sekarang menjadi perapian.
Nafas kian tersengkal,rimbun pepohonan kian mendekat dan kaki kian berpelan menetap. Gelapnya malam tidak memungkinkan kan tau mana yang seperjuangan dan mana yang sudah tau lokasi persembunyian dan menyamar guna pembantaian berikutnya, kini semua hampir sama,salib salib tak berani lagi digantungkan dileher. Perempuan perempuan muslim kian takut berkerudung dan semua menjelma menjadi netral dan hendak menjadi putih dipenampilan.
Fanatisme kian merebak di penjuru kota. suara adzan tak lagi
bersahut sahutan terdengar,gereja gereja Nampak lengang dan bahkan hancur bak
tempat bekas perapian. Surat tanah dipelukan ia masukan kedalam celana
dibelakang baju satu satunya yang terbawa dan melekat di badan. Saudara perempuan
bungsunya terisak isak menangis kesakitan menahan kaki yang dibawa berlari
tanpa alas kaki. Terlambat persiapan matang matang keluarga gagal karena tiba
tiba pemberontak datang dan mengepung rumah pantai.
Biarpun tidak ada satupun muslim dideretan rumah pantai tapi
hikayat ayah sang pemuda meyakinkan Ambon bukan hanya untuk Kristen,bukan pula
hanya untuk muslim. Ayah nan beruntung hidup di era ketika masjid dan gereja
bisa berjarak tak jauh membagi suara adzan dan lonceng hingga berbagi sagu saat
natal ataupun lebaran. Saat itu tinggalah hikayat.
Penyerangan terjadi dimana mana. Kepala manusia tak ubahnya seperti kepala kerbau atau kambing saat idul adha,ditenteng tenteng orang gila yang merasa bangga dan diselubungi semangat memperjuangkan keyakinannya masing masing. saling membunuh tiap hari didengungkan. Uztad,pastor tak lagi bisa mendamaikan. Semua orang telah tuli dan bahkan buta batin mencongkel mata mata hasil serbuannya. Sedang yang kaum kecil dan tak mau bergila SARA harus menjadi korban dua kubu yang saling memenuhi tabung darah.
Pagi menjelang,adik dipangkuan demam dan sekumpulan pemuda
sederet rumah pantai membangunkan. Kabar dikampung sudah ditinggal pemberontak.
Semua sudah dilalap api pembantaian,dan tentu korban jiwa tak bisa dielakan
harus didengungkan. Sesuai kesepakatan,semua yang berpencar kan kembali melalui
jalan berbeda dengan mobil mobil kepolisian setempat yang benar benar waras. Maklum,situasi
kota semakin parah dengan datangnya sebagian polisi dan si baju loreng yang kurang akal. Harus jeli
menilai mana yang waras dan mana yang semacam pemberontak.
Dikumpulkan di pos pengamanan dan kian hari korban jiwa diumumkan. Nasib tak bisa dielak,seorang ibu mengandung 6 bulan ditemukan tewas terbelek perutnya dan janinnya dibakar bersama sebagian tubuh ibunya. kepala kepala setengah tengkorak bergelimangan dimana mana,tanpa mata,dengan beberapa kehilangan gigi dan menyiratkan mimik kesakitan. Bukan hanya dari rumah tepi pantai yang dibantai semalam,belahan kota yang lain dikabarkan serupa dibantai mereka yang sejalan dengan orang rumah pantai. Asap abu mayat orang dimana mana semalaman.
Dari delapan bersaudara tinggal 4 tersisa,empat yang lain berhasil ditikam dan dibakar. Entah bagaimana kronologisnya. Untung ayah dan ibu sang pemuda sudah tiada,mati dalam kedamaian.
Tanah seperti terpapar sekarat,abu abu kematian beterbangan bersama nyawa nyawa dikering angin pantai. Biru laut seolah menipu tidak pernah ternoda oleh parang ,panah,pedang yang semalam diasah dan dibersihkan disana. Ombak kecil menyambut langkah gontai penghuni rumah pantai,tangisan dimana mana,organ tubuh seperti barang mainan tergeletak dimana mana.
Hingga lama tak terdengar lonceng gereja,kumandang adzan
masjid madzjid dan semua orang terkepung dalam kefanatikan.
Diam sejenak,tiba tiba suara dentingan parang bergores
dengan aspal terdengar ditengah malam. Gerombolan pemuda kota berlarian
menyeret bamboo,gesper dan semacamnya maju mundur menyerang. Kami bangkit
mendekat melihat apa yang terjadi. Kali ini bukan tentang SARA,melainkan
permainan goblok pemuda pemuda kota. bertanding senjata ditengah kota ditengah
malam. Mencoba membakar malam tenang dan malam setengah siang. Hingga terlintas
dimata sang pemuda yang kini menua tentang kejadian 1999. Matanya menerawang
trauma,hatinya remuk redam,jiwanya melayang menatap rumah tepi pantai.
Tidak ada setitik dendam kepada kami yang diturni darah mereka yang dulu pernah menjadi
lawan peperangan. Atau mungkin hanya mendendam dengan mereka yang diselimuti
kefanatikan . toleransi tertanam alami dihunian ibu kotanya. Mengontel sepeda
tuanya menyusuri pemukiman kota,untuk pembaktian,ibadath minggu. Juga mengingatkan
kami untuk sholat saat kumandang adzan maghrib terdengar. Mencoba bercerita
tentang Pura untuk tempat sembahyang satu penghuni diantara kita. Kami saling
melindungi dan menjunjung tinggi toleransi,meninggalkan bekas luka masa lalu
dan kembali memberikan kedamaian hidup serupa ayah dan ibu sang pemuda. Damai,tentram
dan aman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar